Monday, April 11, 2011

cerpen

Cerpen Pahlawan. “Paman yakin tidak mau diantar?” Aku bertanya meski kusadari pertanyaan itu barangkali sekadar basi-basi.
“Ndak usah repat-repot, To, … Paman masih kuat jalan sendirian, kok. Dulu, semasa perang Agresi Kedua Paman terbiasa berjalan kaki keluar masuk hutan, naik turun gunung, mengirim pesan rahasia untuk para gerilyawan.”
“Itu ‘kan dulu, sekarang Paman sudah …”
“Jangan bilang ‘tua’, Mantho, … Purnawirawan!” selipnya cepat.
“Iya, ya, … maksudku begitu, Paman.”
Sungguh menggelikan. Tak mau disebut ‘orang tua’ namun rambut di kepalanya seratus persen telah beruban. Kulitnya pun keriput membungkus tulang. Dan yang turut mempertegas ketuaannya adalah gigi di mulutnya ternyata tinggal empat buah. Dua di atas dan sisanya melekat di email bawah. Sehingga bila sedang mengunyah makanan, atau kebetulan Sang Purnawirawan itu tertawa, maka akan tampak lesungan besar di belahan pipinya yang tak lagi mengencang.
Sungguh pun demikian, diusianya yang telah melewati kepala tujuh, Paman masih terlihat bugar dan energik walau gerak langkah kakinya mulai melambat.

No comments:

Post a Comment